ID/Prabhupada 0930 - Keluarlah Dari Keadaan Material Ini - Maka Akan Ada Kehidupan Sejati, Kehidupan Yang Kekal

Revision as of 03:51, 12 July 2019 by Vanibot (talk | contribs) (Vanibot #0023: VideoLocalizer - changed YouTube player to show hard-coded subtitles version)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)


730423 - Lecture SB 01.08.31 - Los Angeles

Jadi, bukanlah urusan kita untuk mengkritik, tetapi memang ciri-ciri dari Kali-yuga itu sedemikian kejamnya, dan hal itu akan terus berkembang dan berkembang lagi. Saat ini kita sudah menjalani 5.000 tahun dari Kali-yuga, sementara jangka waktu berlangsungnya Kali-yuga itu sendiri adalah selama 400.000 tahun, tepatnya adalah 432.000 tahun. Dari jangka waktu tersebut, kita sudah menjalaninya selama 5.000 tahun. Tetapi sesudah menjalani selama 5.000 tahun itu, kita semakin banyak menemukan kesulitan-kesulitan, dan semakin lama kita berada di dalam Kali-yuga ini, maka hari-hari akan semakin menjadi semakin lebih sulit dan lebih sulit lagi. Jadi, hal terbaik adalah bahwa kamu menyelesaikan urusan kesadaran Kṛṣṇamu dan segera pulang ke rumah, pulang kepada Tuhan. Itu akan menyelamatkanmu. Jika tidak, jika kita kembali lagi, maka hari-hari yang dipenuhi oleh begitu banyak kesulitan sudah menghadang di hadapan kita. Kita akan harus menderita dan lebih menderita lagi.

Jadi, Kṛṣṇa diuraikan di sini sebagai Aja. Ajo 'pi sann avyayātmā bhūtānām īśvaro 'pi san. Hal itu dinyatakan di dalam Bhagavad-gītā. Ajo 'pi. "Aku tidak dilahirkan." Ya. Kṛṣṇa tidak dilahirkan. Dan kita juga tidak dilahirkan. Tetapi perbedaannya adalah bahwa kita sudah menjadi terjerat di dalam badan material kita. Karena itu kita tidak bisa mempertahankan kedudukan kita sebagai yang tidak dilahirkan. Kita harus menerima kelahiran, lalu kita harus berpindah dari satu badan ke badan lainnya, dan tidak ada jaminan mengenai badan apa yang akan kita terima berikutnya. Tetapi kita tetap harus menerima badan itu.

Seperti halnya di dalam kehidupan ini, kita harus menerima badan ini secara berurutan satu sesudah yang lainnya. Seorang bayi harus menghentikan badan bayinya untuk menerima badan kanak-kanaknya. Dan sang anak itu kemudian harus menghentikan badan kanak-kanaknya untuk menerima badan pemudanya. Demikian seterusnya. Hingga sama halnya, badan orang tua juga akan harus dihentikan, sehingga kesimpulan wajarnya adalah bahwa aku akan harus menerima badan baru lainnya. Dan kemudian dimulai kembali kehidupan dengan penggunaan badan bayi. Semuanya itu berlangsung seperti perputaran musim saja. Sesudah musim panas maka akan ada musim semi. Atau sesudah musim semi akan ada musim panas. Sesudah musim panas akan ada musim gugur, kemudian sesudah musim gugur akan ada musim dingin. Atau sesudah siang hari akan ada malam hari. Dan sesudah malam hari akan ada siang hari kembali. Jadi, hal ini terwujud layaknya suatu perputaran yang berlangsung secara berurutan satu sesudah yang lainnya, sehingga sama halnya, kita juga sedang menggantikan badan kita secara berurutan satu sesudah yang lainnya Dan kesimpulan yang wajar adalah bahwa sesudah menggantikan badan ini, maka aku akan harus menerima badan lainnya. Bhūtvā bhūtvā pralīyate. (BG 8.19).

Hal ini sangat masuk di akal, sangat logis, dan hal ini didukung oleh pernyataan di dalam śāstra yang disabdakan sendiri oleh pihak yang paling berwenang, yaitu Kṛṣṇa. Lalu mengapa kamu tidak mau menerima hal itu? Jika kamu tidak mau menerima hal itu, maka itu merupakan suatu kebodohan. Jika kamu berpikir bahwa tidak ada kehidupan sesudah kematian, maka itu adalah kebodohan. Ada kehidupan sesudah kematian. Jadi, karena kita menerima badan secara berurutan satu sesudah lainnya sejak jaman dahulu kala, maka kita tidak bisa memikirkan adanya kehidupan yang kekal. Pemahaman seperti itu menjadi sulit kita terima. Seperti halnya orang yang sedang sakit. Ia sedang berbaring di atas tempat tidur, ia makan di sana, ia buang air besar di sana dan ia buang air kecil di sana. Ia tidak bisa bergerak dan ia harus minum obat-obatan yang sangat pahit. Jadi, ada begitu banyak ketidak-nyamanan. Ia hanya bisa berbaring. Sehingga akhirnya ia berpikir untuk melakukan bunuh diri. "Oh, hidup ini sungguh sudah tidak tertahankan lagi. Biarlah aku melakukan bunuh diri saja."

Jadi, dalam keadaan putus asa seperti itu, terkadang kita menjadi mengikuti filsafat kekosongan, filsafat impersonalisme. Yaitu dengan menjadikan segala sesuatunya menjadi kosong. Karena kehidupan ini begitu sangat bermasalah, sehingga terkadang seseorang melakukan bunuh diri untuk keluar dari keadaan itu. Maksudku, dari keberadaan kehidupan material yang penuh masalah. Jadi, filsafat kekosongan, filsafat impersonalisme, adalah seperti itu. Artinya adalah bahwa mereka tidak bisa menerima, mereka merasa sangat ketakutan, untuk memikirkan mengenai kemungkinan bahwa mereka akan harus menerima kembali suatu kehidupan lain, di mana mereka akan harus makan lagi, tidur lagi, bekerja lagi. Karena selama ini ia berpikir bahwa segala kegiatan itu, makan, tidur dan lainnya, semuanya harus dilakukannya di atas tempat tidur. Dan ia takut untuk menerima hal itu kembali. Itu saja. Itu semua merupakan penderitaan. Ia tidak bisa berpikir yang sebaliknya mengenai hal itu.

Jadi, filsafat itu merupakan suatu cara berpikir secara negatif, dengan membuat semuanya menjadi kosong. Itulah filsafat kekosongan. Tetapi sebenarnya bukan itulah persoalannya. Persoalannya adalah bahwa kamu ada di dalam keadaan material yang penuh dengan masalah. Keluarlah dari keadaan material ini. Maka akan ada kehidupan sejati, kehidupan yang kekal.