ID/BG 2.61

Revision as of 10:20, 13 December 2017 by Gusti (talk | contribs) (Bhagavad-gita Compile Form edit)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Śrī Śrīmad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupāda


ŚLOKA 61

tāni sarvāṇi saḿyamya
yukta āsīta mat-paraḥ
vaśe hi yasyendriyāṇi
tasya prajñā pratiṣṭhitā

Sinonim

tāni—indria-indria itu; sarvāni—semua; saḿyamya—menjaga di bawah pengendalian; yuktaḥ—sibuk; āsīta—harus mantap; mat-paraḥ—sehubungan denganKu; vase—menaklukkan sepenuhnya; hi—pasti; yasya—orang yang; indriyāṇi—indria-indria; tasya—milik dia; prajñā—kesadaran; pratiṣṭhitā—mantap.

Terjemahan

Orang yang mengekang dan mengendalikan indria-indria sepenuhnya dan memusatkan kesadarannya sepenuhnya kepadaKu, dikenal sebagai orang yang mempunyai kecerdasan yang mantap.

Penjelasan

Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa paham tertinggi kesempurnaan yoga ialah kesadaran Kṛṣṇa. Kalau seseorang belum sadar akan Kṛṣṇa, sama sekali tidak mungkin ia mengendalikan indria-indria. Sebagaimana dikutip di atas, seorang resi yang hebat yang bernama Durvāsā Muni pernah memaki Mahārāja Ambarīṣa, dan marah karena rasa bangga walaupun itu tidak diperlukan. Karena itu, Durvāsā Muni tidak dapat mengendalikan indria-indrianya. Di pihak lain, walaupun Mahārāja Ambarīṣa bukan yogī yang sehebat resi itu, tapi seorang penyembah Tuhan, Mahārāja Ambarīṣa menahan diri terhadap hal-hal yang tidak adil yang dilontarkan oleh resi itu. Dengan demikian akhirnya Mahārāja Ambarīṣalah yang menang. Mahārāja Ambarīṣa dapat mengendalikan indria-indrianya karena kwalifikasi-kwalifikasi berikut, sebagaimana disebut dalam Śrīmad-Bhāgavatam (9.4.18-20):

sa vai manaḥ kṛṣṇa-pādāravindayor
vacāḿsi vaikuṇṭha-guṇānuvarṇane
karau harer mandira-mārjanādiṣu
śrutiḿ cakārācyuta-sat-kathodaye
mukunda-lińgālaya-darśane dṛśau
tad-bhṛtya-gātra-sparśe 'ńga-sańgamam
ghrāṇaḿ ca tat-pāda-saroja-saurabhe
śrīmat-tulasyā rasanāḿ tad-arpite
pādau hareḥ kṣetra-padānusarpaṇe
śiro hṛṣīkeśa-padābhivandane
kāmaḿ ca dāsye na tu kāma-kāmyayā
yathottama-śloka-janāśrayā ratiḥ

"Mahārāja Ambarīṣa memusatkan pikirannya kepada kaki-padma Śrī Kṛṣṇa, dan menjadikan kata-katanya tekun dalam menguraikan tempat tinggal Kṛṣṇa, tangannya digunakan untuk membersihkan tempat sembahyang kepada Kṛṣṇa, matanya dalam memandang bentuk Kṛṣṇa, badannya dalam menyentuh badan seorang penyembah, hidungnya dalam mencium bunga yang sudah dipersembahkan kepada kaki-padma Kṛṣṇa, lidahnya dalam merasakan daun-daun tulasi yang sudah dipersembahkan kepada Beliau, kakinya digunakan dalam perjalanan ke tempat suci, tempat sembahyang kepada Beliau, kepalanya dalam mempersembahkan sembah sujud kepada Tuhan, dan keinginannya dalam memenuhi keinginan Tuhan ... semua kwalifikasi tersebut menyebabkan dia memenuhi syarat untuk menjadi seorang penyembah Tuhan yang mempunyai sifat mat-para."

Sehubungan dengan hal ini, kata mat-paraḥ bermakna sekali. Bagaimana seseorang dapat menjadi mat-paraḥ diuraikan dalam hidup Mahārāja Ambarīṣa. Śrīla Baladeva Vidyābhūṣaṇa, seorang sarjana dan ācārya yang mulia dari garis perguruan mat-paraḥ, berkata, mad-bhakti-prabhāvena sarvendriya-vijaya-pūrvikā svātma-dṛṣṭiḥ sulabheti bhāvaḥ. "Indria-indria dapat dikendalikan sepenuhnya hanya dengan kekuatan bhakti kepada Kṛṣṇa." Contoh mengenai api juga kadang-kadang dikemukakan: "Seperti halnya api yang menyala membakar segala sesuatu di dalam kamar, begitu pula, Sri Viṣṇu, yang bersemayam di dalam hati seorang yogī, membakar segala hal yang kotor." Yoga-sutra juga menganjurkan meditasi kepada Viṣṇu, dan bukan meditasi kepada kekosongan. Orang yang hanya namanya saja yogī, yang bersemadi kepada sesuatu yang bukan Viṣṇu hanya memboroskan waktu saja dalam usaha yang sia-sia untuk mencari suatu khayalan. Kita harus sadar akan Kṛṣṇa—yaitu berbhakti kepada Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Inilah tujuan yoga yang sejati.