ID/BG 13.8-12
ŚLOKA-ŚLOKA 8-12
- अमानित्वमदम्भित्वमहिंसा क्षान्तिरार्जवम् ।
- आचार्योपासनं शौचं स्थैर्यमात्मविनिग्रहः ॥८॥
- इन्द्रियार्थेषु वैराग्यमनहंकार एव च ।
- जन्ममृत्युजराव्याधिदुःखदोषानुदर्शनम् ॥९॥
- असक्तिरनभिष्वङ्गः पुत्रदारगृहादिषु ।
- नित्यं च समचित्तत्वमिष्टानिष्टोपपत्तिषु ॥१०॥
- मयि चानन्ययोगेन भक्तिरव्यभिचारिणी ।
- विविक्तदेशसेवित्वमरतिर्जनसंसदि ॥११॥
- अध्यात्मज्ञाननित्यत्वं तत्त्वज्ञानार्थदर्शनम् ।
- एतज्ज्ञानमिति प्रोक्तमज्ञानं यदतोऽन्यथा ॥१२॥
- amānitvām adambhitvām
- ahiḿsā kṣāntir ārjavam
- ācāryopāsanaḿ śaucaḿ
- sthairyam ātma-vinigrahaḥ
- indriyārtheṣu vairāgyam
- anahańkāra eva ca
- janma-mṛtyu-jarā-vyādhi-
- duḥkha-doṣānudarśanam
- asaktir anabhiṣvańgaḥ
- putra-dāra-gṛhādiṣu
- nityaḿ ca sama-cittatvām
- iṣṭāniṣṭopapattiṣu
- mayi cānanya-yogena
- bhaktir avyabhicāriṇī
- vivikta-deśa-sevitvām
- aratir jana-saḿsadi
- adhyātma-jñāna-nityatvaḿ
- tattva-jñānārtha-darśanam
- etaj jñānam iti proktām
- ajñānaḿ yad ato 'nyathā
Sinonim
amānitvām—sifat rendah hati; adambhitvām—bebas dari rasa bangga; ahiḿsā—tidak melakukan kekerasan; kṣāntiḥ—toleransi; ārjavam—kesederhanaan; ācārya-upāsanam—mendekati seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya; śaucam—kebersihan; sthairyam—sifat mantap; ātma-vinigrahaḥ—mengendalikan diri; indriya-artheṣu—dalam hal indria-indria; vairāgyam—pelepasan ikatan; anahańkāraḥ—bebas dari keakuan palsu; evā—pasti; ca—juga; janma—dari kelahiran; mṛtyu—kematian; jarā—usia tua; vyādhi—dan penyakit; duḥkha—dari dukacita; doṣa—kesalahan; anudarśanam—melihat; asaktiḥ—berada tanpa ikatan; anabhiṣvańgaḥ—berada tanpa pergaulan; putra—untuk putera; dāra—isteri; gṛha-ādiṣu—rumah, dan sebagainya; nityam—tetap; ca—juga; sama-cittatvām—keseimbangan; iṣṭa—yang diinginkan; aniṣṭa—dan yang tidak diinginkan; upapattiṣu—sesudah memperoleh; mayi—kepadaKu; ca—juga; anaknya-yogena—oleh bhakti yang murni; bhaktiḥ—bhakti; avyabhicāriṇī—tanpa putus; vivikta—kepada yang sunyi; deśa—tempat-tempat; sevitvām—bercita-cita; aratiḥ—berada tanpa ikatan; jana-saḿsadi—terhadap rakyat umum; adhyātma—mengenai sang diri; jñāna—dalam pengetahuan; nityatvām—sifat tetap; tattva-jñāna—dari pengetahuan tentang kebenaran; artha—terhadap obyek; darśanam—filsafat; etat—semua ini; jñānam—pengetahuan; iti—demikian; proktām—dinyatakan; ajñānām—kebodohan; yat—itu yang; ataḥ—dari ini; anyathā—lain.
Terjemahan
Sifat rendah hati; kebebasan dari rasa bangga; tidak melakukan kekerasan; toleransi; kesederhanaan; mendekati seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya; kebersihan; sifat mantap; pengendalian diri; melepaskan ikatan terhadap obyek-obyek kepuasan indria-indria; kebebasan dari keakuan yang palsu; mengerti buruknya kelahiran; kematian; usia tua dan penyakit; ketidak-terikatan; kebebasan dari ikatan terhadap anak-anak; isteri; rumah dan sebagainya; keseimbangan pikiran di tengah-tengah kejadian yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan; bhakti kepadaKu yang murni dan tidak pernah menyimpang; bercita-cita tinggal di tempat yang sunyi; ketidak-terikatan terhadap khalayak ramai; mengakui bahwa keinsafan diri adalah hal yang penting; dan usaha mencari Kebenaran Mutlak dalam filsafat—Aku menyatakan bahwa segala sifat tersebut adalah pengetahuan, dan apa pun yang ada di luar sifat-sifat itu adalah kebodohan.
Penjelasan
Kadang-kadang orang yang kurang cerdas salah paham dengan menganggap bahwa proses pengetahuan tersebut adalah hal saling mempengaruhi dari lapangan kegiatan. Tetapi sebenarnya proses tersebut adalah proses pengetahuan yang sejati. Kalau seseorang menerima proses ini, maka ada kemungkinan dia dapat mendekati Kebenaran Mutlak. Ini bukan hal saling mempengaruhi dari dua puluh empat unsur, sebagaimana diuraikan sebelumnya. Ini sebenarnya merupakan sarana untuk mencari jalan keluar dari ikatan unsur-unsur tersebut. Sang roh di kurung di dalam badan, yang merupakan kemasan terbuat dari dua puluh empat unsur, dan proses pengetahuan yang diuraikan di sini adalah sarana untuk keluar dari badan. Dari segala uraian mengenai proses pengetahuan, unsur yang paling penting diuraikan dalam baris pertama dari ayat sebelas. Mayi cānanya-yogena bhaktir avyabhicāriṇī: Proses pengetahuan memuncak dalam bhakti yang murni kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, kalau seseorang tidak mendekati, atau tidak dapat mendekati pengabdian rohani kepada Tuhan, maka sembilan belas unsur lainnya tidak begitu berharga. Tetapi, kalau seseorang mulai melakukan bhakti dalam kesadaran Kṛṣṇa sepenuhnya, maka sembilan belas unsur lainnya dengan sendirinya akan berkembang di dalam dirinya. Sebagaimana dinyatakan dalam Śrīmad-Bhāgavatam (5.18.12), yasyāsti bhaktir bhagavaty akiñcanā sarvair guṇais tatra samāsate surāḥ. Segala sifat pengetahuan yang baik berkembang di dalam hati orang yang sudah mencapai tingkat bhakti. Prinsip berguru kepada guru kerohanian, sebagaimana disebut dalam ayat kedelapan, adalah syarat mutlak. Itulah yang paling penting, bahkan bagi orang yang mulai melakukan bhakti sekalipun. Kehidupan rohani mulai ketika seseorang berguru kepada seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya. Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Śrī Kṛṣṇa, menyatakan dengan jelas di sini bahwa proses pengetahuan ini adalah jalan yang sebenarnya. Apapun yang dibayangkan di luar proses ini adalah hal yang tidak masuk akal.
Mengenai pengetahuan yang diuraikan di sini, unsur-unsur tersebut di atas dapat dianalisis sebagai berikut: Rendah hati berarti seharusnya orang jangan berhasrat supaya hati puas dengan dihormati orang lain. Paham hidup yang duniawi menyebabkan kita ingin sekali dihormati orang, tetapi dari segi pandangan orang yang memiliki pengetahuan sempurna—orang yang mengetahui bahwa dirinya bukan badan ini—apa pun berhubungan dengan badan ini tidak berguna, baik ia dihormati maupun tidak dihormati. Hendaknya orang janganlah berhasrat terhadap penipuan material tersebut. Orang ingin sekali menjadi terkenal karena kegiatan rohaninya, dan akibatnya kadang-kadang ditemukan bahwa tanpa mengerti prinsip-prinsip dharma seseorang masuk menjadi anggota suatu organisasi yang sebenarnya tidak mengikuti prinsip-prinsip dharma, kemudian dia ingin memaklumkan dirinya sebagai seorang guru kerohanian. Mengenai kemajuan yang sebenarnya dalam ilmu pengetahuan rohani, seharusnya seseorang mempunyai ujian untuk menentukan sejauh mana ia sudah maju. Dia dapat menguji dengan unsur-unsur dalam ayat ini.
Tidak melakukan kekerasan pada umumnya diartikan tidak membunuh atau membinasakan badan, tetapi sebenarnya tidak melakukan kekerasan berarti tidak menyebabkan makhluk lain berdukacita. Pada umumnya orang diperangkap oleh kebodohan dalam paham hidup yang duniawi, dan mereka menderita kesengsaraan material untuk selamanya. Karena itu, kalau seseorang tidak mengangkat orang lain sampai tingkat pengetahuan rohani, maka itu berarti bahwa dia melakukan kekerasan. Hendaknya orang berusaha sekuat tenaga untuk menyebarkan pengetahuan yang sebenarnya kepada rakyat, agar mereka dapat dibebaskan dari kebodohan dan meninggalkan ikatan material ini. Itulah arti istilah tidak melakukan kekerasan.
Toleransi berarti hendaknya orang dilatih untuk tahan penghinaan dan ejekan orang lain. Kalau seseorang tekun dalam kemajuan pengetahuan rohani, maka dia akan mengalami begitu banyak penghinaan dan sikap kurang hormat dari orang lain. Ini memang diduga karena alam material disusun sedemikian rupa. Anak kecil, misalnya Prahlāda, yang hanya berumur lima tahun, tekun mengembangkan pengetahuan rohani, tetapi diapun mengalami bahaya ketika ayahnya sangat membenci bhakti yang dilakukannya. Sang ayah berusaha membunuh Prahlāda dengan berbagai cara, tetapi Prahlāda tahan terhadap kegiatan ayahnya. Jadi, barangkali ada banyak halangan terhadap kemajuan di bidang pengetahuan rohani, hendaknya kita toleransi dan melanjutkan kemajuan kita dengan ketabahan hati.
Kesederhanaan berarti hendaknya orang bebas dari siasat dan begitu terus terang hingga dapat mengungkapkan kebenaran yang sejati, bahkan kepada musuh sekalipun. Berguru kepada guru kerohanian merupakan syarat mutlak, sebab tanpa ajaran dari seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya, orang tidak dapat maju di bidang ilmu pengetahuan rohani. Sebaiknya orang mendekati seorang guru kerohanian dengan sikap sangat rendah hati dan melayani guru kerohanian dengan berbagai cara agar beliau berkenan menganugerahkan berkat karunianya kepada muridnya. Oleh karena seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya adalah utusan Kṛṣṇa, kalau guru kerohanian memberikan berkat kepada muridnya, maka itu akan menyebabkan murid itu segera maju, meskipun murid itu belum mengikuti prinsip-prinsip yang mengatur. Atau, prinsip-prinsip yang mengatur akan menjadi lebih mudah diikuti bagi orang yang sudah mengabdikan diri kepada guru kerohanian tanpa ragu-ragu.
Kebersihan merupakan syarat mutlak untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan rohani. Ada dua jenis kebersihan; kebersihan lahiriah dan kebersihan batiniah. Kebersihan lahiriah berarti mandi, tetapi untuk kebersihan batiniah, orang harus berpikir tentang Kṛṣṇa senantiasa dan mengucapkan mantra Hare Kṛṣṇa, Hare Kṛṣṇa, Kṛṣṇa Kṛṣṇa, Hare Hare / Hare Rāma, Hare Rāma, Rāma Rāma, Hare Hare. Proses ini menghilangkan debu yang tertumpuk di dalam pikiran kita akibat karma dari dahulu.
Sifat mantap berarti hendaknya orang sangat bertabah hati untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan rohani. Tanpa ketabahan hati seperti itu, seseorang tidak dapat mencapai kemajuan yang nyata. Mengendalikan diri berarti hendaknya orang janganlah menerima sesuatu yang menghalang-halangi kemajuan rohani. Hendaknya orang membiasakan diri dengan sikap ini dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan jalan kemajuan rohani. Inilah ketidak-terikatan yang sebenarnya. Betapa kuatnya indria-indria sehingga indria-indria selalu ingin dipuaskan. Sebaiknya orang tidak melayani permintaan indria-indria, yang sebenarnya tidak diperlukan. Hendaknya indria indria hanya dipuaskan untuk menjaga kesehatan badan supaya kita dapat melaksanakan tugas kewajiban kita untuk mencari kemajuan dalam kehidupan rohani. Indria yang paling penting dan yang paling sulit dikendalikan ialah lidah. Kalau seseorang dapat mengendalikan lidah, kemungkinan besar ia dapat mengendalikan indria-indria lainnya. Fungsi lidah ialah merasakan dan bergetar. Karena itu, dengan aturan yang sistematis, hendaknya lidah selalu dijadikan tekun mencicipi sisa makanan yang sudah dipersembahkan kepada Kṛṣṇa dan mengucapkan mantra Hare Kṛṣṇa. Mengenai mata, hendaknya mata jangan dibiarkan melihat sesuatu selain bentuk Kṛṣṇa yang indah. Itu akan mengendalikan mata. Begitu pula, hendaknya telinga dijadikan tekun mendengar tentang Kṛṣṇa dan hidung dijadikan tekun mencium bunga-bunga yang sudah dipersembahkan kepada Kṛṣṇa. Inilah proses bhakti, dan di sini dimengerti bahwa Bhagavad-gītā hanya mengemukakan ilmu pengetahuan tentang bhakti. Bhakti adalah tujuan utama dan tujuan tunggal. Orang yang kurang cerdas menafsirkan Bhagavad-gītā dan berusaha menyesatkan pikiran pembaca menuju hal-hal lain, tetapi tiada mata pelajaran selain pengabdian suci bhakti dalam Bhagavad-gītā.
Keakuan yang palsu berarti menganggap badan ini adalah diri kita. Apabila seseorang mengerti bahwa dirinya bukan badan, melainkan dirinya adalah roh, itulah keakuan yang sebenarnya. Keakuan benar-benar ada. Keakuan yang palsu disalahkan, tetapi keakuan yang sebenarnya tidak disalahkan. Dalam kesusasteraan Veda (Bṛhad-āraṇyaka Upaniṣad 1.4.10) dinyatakan, ahaṁ brahmāsmi: "Diri saya adalah Brahman, diri saya adalah roh. Saya berada," pengertian tentang adanya diri kita, juga ada pada tingkat pembebasan dalam keinsafan diri. Pengertian bahwa "Saya berada" adalah keakuan, tetapi apabila pengertian "Saya berada" dikenakan pada badan yang palsu ini, maka itu merupakan keakuan yang palsu. Apabila pengertian tentang diri kita dihubungkan dengan kesunyataan, itu merupakan keakuan yang sebenarnya. Ada beberapa filosof yang mengatakan hendaknya kita meninggalkan keakuan kita, tetapi kita tidak dapat meninggalkan keakuan kita, sebab keakuan berarti identitas. Tentu saja, sebaiknya kita meninggalkan sikap mempersamakan diri kita dengan badan yang merupakan sikap palsu.
Hendaknya orang berusaha mengerti duka cita pengalaman kelahiran, kematian, usia tua, dan penyakit. Ada dua uraian dalam berbagai kesusasteraan Veda mengenai kelahiran. Dalam Śrīmad-Bhāgavatam, dunia anak yang belum lahir, masa anak di dalam kandungan ibu, penderitaan si anak, dan sebagainya, semua diuraikan secara panjang lebar. Orang harus mengerti secara mendalam bahwa kelahiran penuh kesengsaraan. Oleh karena kita lupa betapa besarnya kesengsaraan yang telah kita alami di dalam kandungan ibu, kita tidak berusaha mencari penyelesaian kelahiran dan kematian yang dialami berulang kali. Begitu pula, pada saat meninggal, ada segala jenis kesengsaraan, dan kesengsaraan itu juga disebut dalam Kitab-kitab Suci yang dapat dipercaya. Seyogyanya hal-hal ini dibicarakan. Mengenai penyakit dan usia tua, semua orang mendapat pengalaman yang nyata. Tiada seorang pun yang ingin jatuh sakit, dan tidak ada seorang pun yang ingin menjadi tua, tetapi hal-hal itu tidak dapat dihindari. Kalau kita tidak bersikap pesimis terhadap kehidupan material ini, dengan mempertimbangkan kesengsaraan kelahiran, kematian, usia tua dan penyakit, maka tidak ada dorongan untuk kemajuan kita dalam kehidupan rohani.
Mengenai ketidak-terikatan terhadap anak, isteri dan rumah, tidak dimaksudkan agar orang tidak mempunyai perasaan sama sekali terhadap hal-hal itu. Hal-hal itu merupakan obyek kasih sayang yang wajar, tetapi apabila hal-hal itu tidak menguntungkan demi kemajuan rohani, maka sebaiknya orang jangan terikat kepadanya. Cara terbaik agar rumah tangga menyenangkan ialah kesadaran Kṛṣṇa. Kalau seseorang berada dalam kesadaran Kṛṣṇa sepenuhnya maka dia dapat menjadikan rumah tangganya sangat bahagia sekali karena proses dalam kesadaran Kṛṣṇa sangat mudah. Orang hanya perlu mengucapkan mantra Hare Kṛṣṇa, Hare Kṛṣṇa, Kṛṣṇa Kṛṣṇa, Hare Hare/ Hare Rāma, Hare Rāma, Rāma Rāma, Hare Hare, menerima sisa makanan yang sudah dipersembahkan kepada Kṛṣṇa, mengadakan diskusi tentang buku-buku seperti Bhagavad-gītā dan Śrīmad-Bhāgavatam, dan menjadi tekun dalam sembahyang kepada Arca. Empat kegiatan tersebut akan membahagiakan dirinya. Sebaiknya orang melatih anggota keluarganya dengan cara seperti itu. Para anggota keluarga dapat duduk pagi dan sore bersama-sama dan menyanyi Hare Kṛṣṇa, Hare Kṛṣṇa, Kṛṣṇa Kṛṣṇa, Hare Hare/ Hare Rāma, Hare Rāma, Rāma Rāma, Hare Hare. Kalau seseorang dapat membentuk kehidupan keluarganya dengan cara demikian untuk mengembangkan kesadaran Kṛṣṇa, dengan mengikuti empat prinsip tersebut di atas, maka dia tidak perlu berubah dari hidup berkeluarga sampai kehidupan meninggalkan hal-hal duniawi. Tetapi kalau hidup berkeluarga tidak menguntungkan dan tidak bermanfaat demi kemajuan rohani, maka hendaknya hidup berkeluarga ditinggalkan. Orang harus mengorbankan segala sesuatu untuk menginsafi atau melayani Kṛṣṇa, seperti yang dilakukan Arjuna. Arjuna tidak ingin membunuh anggota keluarganya tetapi ketika dia mengerti bahwa anggota keluarga itu merintangi keinsafannya terhadap Kṛṣṇa, dia menerima perintah dari Kṛṣṇa untuk bertempur dan membunuh mereka dalam perang. Dalam segala keadaan, seseorang harus bebas dari ikatan terhadap suka dan duka hidup berkeluarga, karena di dunia ini orang tidak akan pernah bahagia sepenuhnya atau sengsara sepenuhnya.
Suka dan duka adalah hal-hal yang berjalan berdampingan dalam kehidupan material. Sebagaimana dinasehatkan dalam Bhagavad-gītā, orang harus belajar cara toleransi. Orang tidak akan pernah membatasi datang dan perginya suka dan duka; karena itu, sebaiknya ia lepas dari ikatan terhadap cara hidup yang duniawi, dan dengan sendirinya bersikap seimbang dalam kedua keadaan tersebut. Pada umumnya, apabila kita mendapat sesuatu yang diinginkan kita bahagia sekali, dan apabila kita mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan, maka kita bersedih hati. Tetapi kalau kita sungguh-sungguh berada dalam tingkat kerohanian, maka hal-hal seperti itu tidak akan menggoyahkan diri kita. Untuk mencapai tingkat itu, kita harus mempraktekkan bhakti yang tidak terputus. Bhakti kepada Kṛṣṇa tanpa menyimpang berarti menekuni sembilan cara bhakti—yaitu, memuji, mendengar, sembahyang, menghormati, dan sebagainya—sebagaimana diuraikan dalam ayat terakhir dari Bab Sembilan. Hendaknya cara tersebut diikuti.
Sewajarnya, apabila seseorang sudah menyesuaikan diri dengan cara hidup rohani, dia tidak ingin bergaul dengan orang-orang duniawi. Itu akan bertentangan dengan jiwanya. Orang dapat menguji dirinya dengan melihat sejauh mana dia berminat tinggal di tempat yang sunyi tanpa pergaulan yang tidak diinginkan. Sewajarnya seorang penyembah tidak berminat ikut permainan atau nonton film yang tidak diperlukan atau menikmati suatu pesta duniawi, karena dia mengerti bahwa hal-hal itu hanya memboroskan waktu. Ada banyak sarjana riset dan filosof yang mempelajari hubungan kelamin atau hal yang lain, tetapi menurut Bhagavad-gītā riset dan angan-angan filsafat seperti itu tidak berharga. Hal-hal seperti itu kurang lebih tidak masuk akal. Menurut Bhagavad-gītā, hendaknya orang mengadakan riset dengan pertimbangan filsafat mengenai sifat sang roh. Sebaiknya orang mengadakan riset untuk mengerti sang roh. Itulah yang dianjurkan di sini.
Mengenai keinsafan diri, dinyatakan dengan jelas di sini bahwa khususnya bhakti-yoga yang praktis. Begitu soal bhakti ditanyakan, maka orang harus mempertimbangkan hubungan antara Roh Yang Utama dengan roh yang individual. Roh yang individual dan Roh Yang Utama tidak mungkin satu, sekurang-kurangnya menurut paham bhakti, atau paham pengabdian rohani dalam hidup. Pengabdian roh yang individual kepada Roh Yang Utama adalah hal yang kekal, nityam, sebagaimana dinyatakan dengan jelas. Jadi, bhakti, atau pengabdian rohani adalah kenyataan yang kekal. Hendak nya orang menjadi mantap dalam keyakinan filsafat tersebut.
Dalam Śrīmad-Bhāgavatam (1.2.11) hal ini dijelaskan. Vadanti tat tattva-vidas tattvaṁ yaj jñānam advayam. "Orang yang sungguh-sungguh mengetahui Kebenaran Mutlak mengetahui bahwa Sang Diri diinsafi dalam tiga tahap yang berbeda sebagai Brahman, Paramātmā dan Bhagavān." Bhagavān adalah kata yang terakhir dalam keinsafan terhadap Kebenaran Mutlak. Karena itu, hendaknya orang mencapai tingkat itu dalam pengertian terhadap Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, dan dengan demikian menekuni bhakti kepada Tuhan. Itulah kesempurnaan pengetahuan.
Mulai dari latihan sikap rendah hati sampai tingkat keinsafan terhadap Kebenaran Yang Paling Utama, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Yang Mutlak, proses tersebut adalah seperti tangga yang mulai dari lantai satu sampai lantai paling atas. Pada tangga ini ada banyak orang yang sudah mencapai lantai satu, lantai dua, atau lantai tiga, dan sebagainya, tetapi kalau seseorang belum mencapai lantai paling atas, yaitu pengertian terhadap Kṛṣṇa maka dia berada pada tingkat pengetahuan yang lebih rendah. Kalau seseorang ingin bersaing dengan Tuhan dan pada waktu yang sama maju dalam pengetahuan rohani, maka dia akan mengalami kegagalan. Dinyatakan dengan jelas bahwa tanpa sikap rendah hati, pengertian yang sebenarnya tidak dimungkinkan. Kalau seseorang menganggap dirinya adalah Tuhan, itu sikap yang sombong sekali. Walaupun makhluk hidup selalu ditendang oleh hukum-hukum alam material yang keras, ia masih berpikir, "Aku adalah Tuhan" karena kebodohan. Karena itu awal pengetahuan adalah amānitva, sifat rendah hati. Hendaknya orang bersikap rendah hati dan mengetahui bahwa kedudukan dirinya di bawah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena pemberontakan terhadap Tuhan Yang Maha Esa orang menjadi takluk pada alam material. Orang harus mengetahui dan meyakini kebenaran ini.